Thursday, February 16, 2006

Majalah (Bag. 2): Indonesia Punya Cerita

Sejarah majalah di Indonesia erat dengan pergerakan kebangsaan

PADA akhir abad ke-19, di Indonesia (waktu itu Hindia Belanda) mulai tampak ada penerbitan pers yang bercorak dan berdasar pada suatu program politik, Karangan yang disajikan bersikap kritis terhadap politik kolonial Belanda di Hindia Belanda. Muncullah majalah yang dikenal dengan nama Bondsblad, terbit 1897. Majalah ini membawa suara Indische Bond, perkumpulan kaum Indo-Belanda, yang memperjuangkan Hindia Belanda sebagai tanah airnya serta mengusahakan perlakuan yang sama bagi mereka dalam bidang politik. Selain Bondsblad, terbit juga Jong Indie, yang didirikan oleh Mr. Th. Thomas, seorang ahli hukum di Batavia.

Pada awal abad 20, muncul organisasi pergerakan kemerdekaan seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam dan Indische Partij. Mereka butuh corong untuk menyampaikan program organisasi. Boedi Oetomo menerbitkan Majalah Retno Doemilah dalam bahasa Melayu Jawa, dan Soeara Goeroe. Tahun 1907 di Bandung terbit Majalah Medan Prijaji yang dipimpin RM Tirtoadisoerjo, yang sebelumnya menerbitkan Majalah Soenda Berita.

Di masa-masa itulah terbit banyak majalah, yang kebanyakan isunya mengenai pergerakan kemerdekaan. Akhir 1910, Douwes Dekker menerbitkan majalah dwi mingguan Het Tijdschrift yang sangat radikal pembahasan politiknya dengan menyerukan aksi melawan kolonial. Pada tahun 1913, giliran Tjipto Mangoenkoesoemo menerbitkan Majalah De Indier. RM Soewardi Soerjaningrat mendirikan Hindia Poetra, memakai bahasa pengantar Belanda. Majalah ini berubah menjadi Indonesia Merdeka, yang kemudian terbit dalam dua bahasa. Peredarannya sangat luas, hingga ke Jerman, India, Mesir, Malaya, dan Prancis. Pembacanya mulai dari guru, kalangan swasta, mahasiswa, pejabat belanda dan Indonesia, redaksi surat kabar, dan sebagainya.

Balai Poestaka, salah satu penerbit tertua, juga menerbitkan beberapa majalah untuk rakyat, antara lain Majalah Pandji Poestaka, Majalah Kedjawen dan Parahijangan, majalah anak-anak berbahasa Melayu Taman Kanak-Kanak, dan yang berbahasa Jawa Taman Botjah. Majalah-majalah lain yang terbit dalam kurun ini antara lain: Fikiran Rakjat milik Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Daulat Ra’jat(diterbitkan Bung Hatta). Lalu, muncul pula Majalah Weekblad Sin Po tahun 1923 yang merupakan terbitan grup Sin Po. Di majalah mingguan ini pula naskah lagu Indonesia Raya ciptaan WR Supratman untuk pertama kalinya dimunculkan.

Tercatat, hinggga tahun 1920-an, sudah ada 127 majalah dan surat kabar. Setelah era ini, masih ada lagi majalah tri wulanan De Chineesche Revue (1927), Timboel (membahas soal budaya, tahun 1930-an), hingga Pedoman Masjarakat yang terbit di Medan (diasuh HAMKA), serta Pandji Islam. Dari segi bisnis, disebutkan bahwa mutu kebanyakan majalah masih amat rendah, mengingat situasi yang tak memungkinkan perolehan iklan waktu itu.

Di jaman Jepang, ada Majalah Djawa Baroe, Pandji Poestaka, Pradjoerit, Keboedajaan Timoer, dan Panggoeng Giat Gembira. Kebanyakan isinya ketat mengikuti ketentuan penguasa Jepang. Semua majalah ini berhenti terbit seiring dengan takluknya Jepang kepada Sekutu tahun 1945. Memasuki masa kemerdekaan, terbit Majalah Pantja Raja (Desember 1945), Menara Merdeka di Ternate, dan Pedoman, majalah tengah bulanan. Yang terakhir disebut ini merupakan majalah stensilan, berisi suara kaum Republiken menentang Belanda. Ada pula Majalah Pesat yang didirikan Sajuti Melik dan terbit di Jogyakarta.

Selama lebih sepuluh tahun pasca kemerdekaan (1950-an), tercatat jumlah mingguan dan majalah berkala yang beredar sebanyak 226 judul, sementara surat kabar berbahasa Indonesia 67 judul, bahasa Belanda 11 judul, dan Cina 15 judul.

Majalah Modern Lokal

Perkembangan dan petumbuhan majalah, dekade pasca 1970-an semakin unik dan canggih. Majalah mulai menuju spesifikasi. Penerbitan majalah lambat laun mengubah dirinya menjadi bagian dari bisnis pers. Perubahan tersebut dilakukan antara lain dengan membuat pembahasan isi yang lebih mendalam daripada koran. Mereka pun melengkapi diri dengan gambar sampul yang berwarna, sejalan dengan memasyarakatnya teknologi cetak offset warna. Karyawan termasuk reporternya mulai mengikuti sebagaimana layaknya sebuah perusahaan. Majalah Tempo merupakan salah satu contoh majalah berita mingguan yang tumbuh dan berkembang pesat serta relatif minim pesaing, setelah wafatnya majalah Ekspress.

Beberapa majalah juga mengambil segmentasi yang lebih spesifik dan sempat populer, antara lain Aktuil, yang mengambil jalur musik dan seni. Mulai pula muncul majalah di bidang interior, otomotif, kedirgantaraan, manajemen, bisnis, komputer, dan sebagainya, di luar segmentasi yang berdasarkan jenis kelamin dan usia.

Pada masa ini terdapat pula kecenderungan masuknya pengusaha besar bekerja sama dengan pemiik SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) atau pekerja pers untuk mendirikan majalah baru atau menghidupkan majalah yang kolaps, seperti Majalah Anda Bisa, Aneka Ria, Info Bank, dan Prospek. ‘Pemain’nya adalah Sutrisno Bachir. Majalah olahraga Sportif tahun 1981 yang didanai oleh Bob Hasan, pengusaha kayu, demikian juga Gatra pada akhir tahun 1994. Sementara Popular didukung oleh Aburizal Bakrie, Vista oleh Suryo Paloh, dan Sinar oleh Ir. Ciputra. Pengusaha Sukamdani Sahid Gitosardjono dan beberapa rekannya memodali terbitnya Indonesia Business Weekly, dan A. Latief dikabarkan menyokong Majalah Proaktif. Perubahan yang cukup siginifikan ini juga menimbulkan problem baru yakni kekhawatiran kekuatan pengawasan media akibat adanya conflict of interest dari pemilik modal.

Sebelumnya, sempat pula dikenal praktik perubahan nama dengan membeli SIT (Surat Ijin Terbit), misalnya Fokus (dari SIT Flamboyan), Bombom (dari Violeta), Intan (dari Prestasi), Ria Kuis (dari Tokoh), dan Srikandi ( dari Contessa Asah Otak). Tahun 1989, tercatat jumlah majalah yang terbit berjumlah 107 buah, dengan sirkulasi total 3. 623.000 eksemplar.

Pada masa pasca reformasi 1998, SIUPP akhirnya dihapuskan. Sejak itu, jumlah penerbitan pers di Indonesia membengkak drastis. Tahun 2000, diperkirakan penerbitan pers mencapai sekitar 1.800 sampai 2.000, namun benar-benar operasional diperkirakan tidak lebih dari 800 penerbitan.

Majalah dan Investigasi

Jurnalisme muckcracking, yang pada awal perkembangannya banyak mengungkap skandal-skandal besar seperti korupsi, pelanggaran hak asasi, dan sebagainya, di dalam negeri lebih dikenal dengan sebutan jurnalisme investigasi atau istilah lunak lainnya, indepth reporting (reportase mendalam). Pers cetak yang dikenal luas sebagai pengusung jurnalisme ini adalah koran Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis. Koran ini sempat dibredel tujuh kali hingga akhirnya dihentikan penerbitannya tahun 1974.

Majalah Tempo sebelum bredel 1994 beberapa kali pernah menuliskan laporan yang bersifat investigasi, antara lain tentang kerusuhan Tanjungpriok, pembelian kapal bekas RI dari Jerman, dan sebagainya. Peliputan investigatif tampaknya mulai dipakai wartawan secara serius pada dekade 1990-an. Dan sejak reformasi bergulir tahun 1998, pelaporan investigatif banyak mendapat tempat dengan memberitakan kasus-kasus korupsi. Majalah yang dengan eksplisit memberi judul investigasi pada liputan mereka antara lain dwi-mingguan Tajuk, yang terbit tahun 1996. Tajuk menyatakan diri sebagai majalah berita, investigasi, dan entertainment. Sedangkan Tempo, setelah terbit kembali Oktober 1998, memuat rubrik tetap Investigasi, yang pada edisi pertama menelusuri soal pemerkosaan perempuan keturuan Cina pada kerusuhan Mei 1998.

Ragam Majalah

Era kebebasan pers di jaman Reformasi membawa pengaruh pada usaha penerbitan majalah. Berbagai penemuan majalah baru semakin marak bermunculan di pasar. Dari data yang ada, majalah di Indonesia dikategorikan berdasarkan segmentasi khalayak pembacanya (lihat boks), misalnya majalah Bisnis dan Ekonomi, majalah Sastra dan Budaya, majalah Wanita, majalah Pria, majalah Berita, majalah Umum/Keluarga, majalah Remaja, majalah Anak, majalah Film, Musik, dan Televisi (entertainment), majalah Olahraga, majalah Agama, majalah Komputer, majalah Hobi, dan lain-lain

Masuknya negara-negara dunia ke dalam era globalisasi memberi pemgaruh signifikan dengan penerbitan majalah di Indonesia. Pihak asing mulai tertarik menanamkan modalnya di bidang pers, sebaliknya pengusaha dalam negeri berkesempatan mencari lahan media asing untuk dapat diterbitkan dengan gaya lokal.

Berbagai ijin waralaba (franchise) dari media mancanegara mulai tumbuh, seperti Cosmopolitan, F1, Golf Digest, Bazaar, Seventeen, Her World, Mens Health, Parent’s Guide Business Week, Komputeraktif!, dan lain-lain. Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia ini diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu UU No.40 th.1999 tentang Pers.

Era Internet

Era digital dan munculnya internet mempengaruhi majalah dalam menampilkan isinya maupun proses pengolahan berita mereka. Secara isi, banyak majalah kini tampil secara online untuk dibaca publik. Gatra dapat disebut sebagai salah satu yang mempelopori, yakni dengan Gatra Information Service (GIS) tahun 1995. Saat ini, hampir tiap majalah memiliki versi online. Beberapa menampilkan layanan interaktif seperti polling, yang tidak dimuat dalam versi cetaknya. Umumnya, majalah online juga menampilkan berita-berita terkini, baik yang dikutip dari kantor berita lain ataupun yang diliput oleh reporternya sendiri seperti Tempo News Room.

Sedangkan proses peliputan berita hingga sampai ke redaksi dan tata letak juga mengalami perubahan. Sekita tahun 1995, wartawan mulai mengenal pengiriman naskah secara elektronik, yang dilakukan oleh beberapa media besar. Tahun-tahun selanjutnya, baik naskah maupun gambar mulai kerap dikirim dari lapangan dengan bantuan e-mail, telepon seluler, kamera digital, atau penerima foto digital lewat satelit.

Bredel dan Kebebasan Pers

Saat diberlakukannya politik liberal tahun 1950-an, media massa mulai rajin megritik pemerintah. Vonis bredel sendiri sesungguhnya sudah ada sejak jaman kolonial dengan diterapkannya Persbreidel Ordonnantie tahun 1931. Pada tahun 1954, PWI dan SPS berhasil mendesakkan tuntutan agar pemerintah menghapus peraturan peninggalan kolonial tersebut. Sebagai gantinya, pada akhir tahun 1960, penerbitan pers wajib mengajukan permohonan SIT (Surat Ijin Terbit). Pada masa ini sejumlah penerbitan berhenti beroperasi karena situasi politik, antara lain majalah Sastra pimpinan HB Jassin. Sementara media pro PKI mulai muncul.

Pembredelan 12 penerbitan pers juga terjadi akibat kasus Peristiwa Malari, 1974. Setelah itu, secara umum sejak tahun 1979 hingga 1984 sedikitnya ada empat majalah yang dicabut SIT-nya yakni Matahari, Tempo, Topik, dan Expo. Juga beberapa kali teguran dan peringatan karena ada majalah dianggap memberitakan hal yang tidak menguntungkan atau pun menampilkan pornografi. Tahun 1994, dengan alasan berbeda-beda, pemerintah membredel majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik. Empat tahun kemudian, Tempo terbit kembali.

(ahmad husein, dari berbagai sumber)

Wednesday, February 15, 2006

Pasang Surut Majalah

Inilah jenis bacaan yang takkan pernah mati


KETIKA membaca sebuah majalah, pernahkah terpikirkan oleh anda mengapa bacaan berformat seperti ini bisa muncul? Jika ingin tahu, majalah sesungguhnya memiliki sejarah panjang yang amat menarik.

Asal Usul Majalah

Oleh beberapa ahli, majalah didefinisikan sebagai kumpulan berita, artikel, cerita, iklan, dan sebagainya, yang dicetak dalam lembaran kertas ukuran kuarto atau folio dan dijilid dalam bentuk buku, serta diterbitkan secara berkala, seperti seminggu sekali, dua minggu sekali atau sebulan sekali. Ada pula yang membatasi pengertian majalah sebagai media cetak yang terbit secara berkala, tapi bukan terbit setiap hari. Media cetak itu haruslah bersampul, setidak-tidaknya punya wajah, dan dirancang secara khusus. Selain itu, media cetak itu dijilid atau sekurang-kurangnya memiliki sejumlah halaman tertentu. Bentuknya harus berformat tabloid, atau saku, atau format konvensional sebagaimana format majalah yang kita kenal selama ini.

Menurut suatu literatur, majalah pertama terbit di Inggris tahun 1731 yaitu Gentleman Magazine. Majalah ini berisi berbagai topik tentang sastra, politik, biografi, dan kritisisme. Kelak, ia menjadi contoh karakter umum majalah yang biasa dijumpai hingga kini, misalnya berisi humor, esai politik, sastra, musik, teater, hingga kabar orang-orang ternama. Sepuluh tahun sesudahnya, muncul majalah pertama di Amerika Serikat.

Namun sumber lain seperti Encyclopedia Americana menyebutkan, majalah dalam bentuk sebagai sisipan dari suratkabar sudah terbit sejak 1665 di Prancis, yakni Le Journal de savants. Majalah periodik ini berisi berita penting dari berbagai buku dan penulis, komentar seni, filsafat, dan iptek. Di Inggris, ada majalah Tatler yang terbit singkat tahun 1709-1711, demikian juga The Spectator (1711-1712). Gentleman’s Magazine sendiri lebih pas disebut sebagai majalah umum pertama yang tampil lebih modern, dan bertahan cukup lama hingga 1901.

Guttenberg sebagai Pemicu

Dunia cetak-mencetak mulai mengalami kemajuan tak henti-henti sejak dikembangannya mesin cetak oleh Johannes Guttenberg tahun 1455. Mesin cetak ini merupakan yang pertama kalinya di Eropa yang menggunakan cetak logam yang dapat digerakkan (movable metal type). Secara dramatis, penemuan ini meningkatkan kecepatan produksi barang cetakan, termasuk buku dan majalah. Mesin cetak juga mengurangi waktu yang digunakan dalam produksi buku dan majalah sebelumnya.

Di Amerika, majalah merupakan media cetak yang terbit belakangan setelah buku dan suratkabar. Hingga tahun 1800-an, tak satu pun majalah yang terbit sanggup bertahan lebih dari 14 bulan. Sampai tahun 1890, majalah-majalah terkemuka di Amerika seperti Harper’s, Century, dan Scribner’s ditujukan untuk kaum minoritas, yakni warga masyarakat yang kaya, agamawan, bangsawan, dan ilmuwan. Perubahan khalayak dari kalangan tertentu ke masyarakat luas, bagi majalah terjadi 50 tahun lebih lambat daripada koran. Isi majalahnya pun jauh dari selera, daya tangkap, dan kepentingan orang kebanyakan. Majalah-majalah yang beredar pada masa itu seperti Atlantic dan Harper’s masih penuh dengan artikel-artikel yang akan memusingkan orang kebanyakan.

Di masa ini, telah ada mesin cetak, kereta api, dan telegram untuk mengirim-menerima berita. Mesin-mesin cetak rintisan Guttenberg mulai berubah ke mesin cetak Columbia. Sampai 1825, media cetak di AS masih menggunakan mesin cetak silinder bertenaga uap yang hanya bisa mencetak 2000 eksemplar per jam. Penggunaan mesin silinder ganda hanya dapat menaikkan produksi dua kali lipat. Baru setelah mesin cetak putar tenaga listrik digunakan, koran-koran bisa mencetak 20.000 eksemplar per jam.

Teknologi dan Peliputan

Kemajuan teknologi juga memudahkan peliputan dan pemberitaan. Naskah dan foto-foto berita bisa dikirimkan jauh lebih cepat. Pada awal abad ke-19, berita dari Inggris baru bisa dibaca di AS 36 hari kemudian. Pada tahun 1838, selisih waktunya tinggal tiga, lalu dua minggu. Sejak adanya telegram, berita di Inggris bisa langsung diketahui di AS.

Sebelumnya, penerbit media cetak juga harus cekatan mengumpulkan berita dari berbagai tempat. Kadang mereka harus mengirim reporternya dengan kapal uap, kereta kuda atau kudanya sendiri, demi mempercepat perolehan berita. Dengan telegram, koran Patriot edisi 25 Mei 1844 dapat menjadi yang pertama memuat berita tentang aksi di Kongres. Ketika terjadi perang saudara, minat publik tentang peristiwa itu sangar besar, sehingga penerbitan media (koran) mengirimkan pasukan reporternya ke lapangan agar dapat langsung mengirimnya ke redaksi untuk dicetak. Mesin-mesin tambahan baru pun dibuat.

Kemajuan ini berlanjut, sejalan dengan perbaikan kondisi sosial yang terjadi akibat revolusi industri. Di kurun 1800-an itu, menurut Straubhaar dan LaRose (2004), tingkat pendidikan makin baik. Dengan meningkatnya upah, banyak penduduk pindah ke kota-kota untuk bekerja di bidang-bidang industri. Kelas menengah kota pun terbentuk. Harga majalah makin murah karena skala ekonomi yang makin besar, makin canggihnya teknologi cetak, dan meningkatnya permintaan. Efek positifnya adalah mempercepat penyebaran buku dan majalah hingga menjadi massal.

Penyebaran teknik cetak foto (photoengraving) sejak akhir abad 19 memudahkan dan mempercepat reproduksi aspek seni koran dan majalah. Biayanya pun menjadi lebih murah jika dibandingkan dengan teknik lama yang masih menggunakan batangan-batangan kayu, zincograph, dan pelat-pelat baja.

Perubahan Besar


Perubahan besar dalam industri majalah terjadi pada tahun 1890-an, ketika S.S. McClure, Frank Musey, Cyrus Curtis, dan sejumlah penerbit lain mulai mengubah industri penerbitan majalah secara revolusioner. Mereka melihat adanya ratusan ribu calon pelanggan yang belum terlayani oleh majalah yang ada. Mereka juga melihat bahwa iklan akan memainkan peranan penting dalam perekonomian AS.

Maka, para tokoh ini menciptakan majalah yang isinya sesuai dengan selera dan kepentingan orang banyak. Munsey’s dan McClure’s mulai menyajikan liputan olahraga di Harvard yang disusul dengan artikel olahraga umum, tulisan tentang perang, lagu-lagu populer, para pesohor (selebritis), dan sebagainya. Curtis lalu menerbitkan majalah khusus kaum ibu, Ladies’ Home Journal, yang kemudian menjadi majalah pertama yang mencapai tiras 1 juta. Majalah-majalah khusus seni dan arsitektur, kesehatan, dan sebagainya segera ikut bermunculan.Terjadilah fenomena yang disebut dengan popularisasi dan segmentasi isi.

Para penerbit majalah juga berusaha menekan harga agar bisa terjangkau oleh orang kebanyakan. Pada tahun 1893, Frank Munsey menjual Munsey’s seharga 10 sen, jauh lebih murah daripada majalah lain. Iklan menjadi kian penting daripada harga majalah. Curtis kemudian bahkan menurunkan harga majalahnya menjadi 5 sen, lebih murah daripada harga kertas majalahnya sendiri.

Isi populer dan harga murah itu sukses menjaring banyak pembeli, sehingga pengiklan pun tertarik. Kerugian akibat harga yang lebih murah daripada biaya produksi ditutup oleh penghasilan dari iklan. Redistribusi pendapatan memunculkan kelas menengah yang daya belinya lebih baik, dan mereka merupakan pasar potensial aneka produk massal yang dapat dijaring melalui iklan di majalah. Hal ini juga mendorong penerbit untuk berusaha membidik pembeli yang homogen guna memudahkan segmentasi iklan.

Dulu, untuk mempercepat reproduksi majalah mempekerjakan banyak seniman yang masing-masing membuat sebagian gambar yang lalu disatukan sebelum digunakan sebagai materi cetakan. Teknik cetak foto modern jelas serba lebih mudah. Pengiriman foto juga gampang dilakukan sejak adanya kamera saku dan jasa pencetakan dan pengiriman foto kilat sejak 1935.

Jika sebelumnya produk bacaan (cetak) dan aksesnya hanya tersedia bagi kalangan tertentu, maka belakangan produk-produk tersebut dapat diproduksi lebih banyak dan menyebar ke pembaca yang lebih luas. Terbitan koran dan majalah juga termasuk yang harus berusaha keras menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi baru ini. Banyak majalah raksasa yang tertekan, Tidak sedikit mingguan atau bulanan yang sudah puluhan tahun terbit dan berjangkauan luas akhirnya terpaksa tutup.

Majalah yang mampu bertahan umumnya yang bersifat khusus, seperti majalah khusus wisata (Sunset), olahraga (Sport Illustrated), hobi perahu layar (Yachting), penggemar acara televisi (TV Guide), atau berita-berita ilmiah (Scientific American). Majalah-majalah yang meliput segala hal (pusparagam) seperti Collier’s dan Saturday Evening Post, sudah bukan zamannya lagi, bahkan juga bagi yang awalnya begitu terkenal seperti Life dan Look. Sekarang adalah zaman majalah-majalah khusus.

Para penerbit buku Amerika, yang menelurkan lebih dari 35.000 judul setiap tahunnya, menjadi kian berorientasi bisnis, bukan saja karena peluang keuntungannya sangat besar jika bukunya menjadi best seller, namun juga pengutamaan pendidikan menjadikan buku kian dibutuhkan. Penerbitan yang semula dikelola secara santai oleh “orang-orang terhormat” berubah menjadi bisnis konglomerasi.

Selama lebih 10 tahun terakhir, ada perubahan jelas antara genre majalah, yang tengah muncul dan yang masih ada. Gambaran readership dari Mediamark Research, mengindikasikan bahwa sejak tahun 1995, ketika majalah genre-genre lain mengalami peningkatan secara finansial, majalah-majalah berita tetap stagnan, dalam arti jumlah halaman iklan yang mereka jual. Mungkin ini terkait dengan majalah berita, yang tidak seperti majalah lainnya, tidak banyak didukung dengan paket penjualan buku-buku.

Iklan dalam Majalah

Peran iklan di media masa sudah terlihat sejak masa Perang Saudara di Amerika. Akan tetapi porsinya yang signifikan sebagai sumber dana mulai terlihat sejak tahun 1890-an, ketika muncul majalah-majalah berskala nasional yang berharga murah namun bersirkulasi tinggi. Memasuki paruh kedua abad 20, peran iklan sudah dominan, namun masih cukup banyak penerbit yang menolak atau membatasi penerimaan iklan karena khawatir akan mempengaruhi isi terbitannya.

Seorang agen iklan muda bernama George P. Rowell suatu ketika mendekati penerbit Harper’s Weekly yang sudah memuat iklan kliennya guna mengetahui jumlah sirkulasinya. Pihak penerbit merasa tersinggung dan menolak iklan yang sama pada edisi berikutnya. Fletcher Harper, pemiliknya, bahkan pernah menolak tawaran US$ 18.000 untuk memuat iklan mesin jahit di halaman belakang majalahnya selama setahun. Harper merasa iklan itu tidak layak, dan ia membutuhkan halaman belakang majalahnya untuk mempromosikan bukunya sendiri.

Pada masa itu sedikit saja majalah yang mencari iklan secara aktif. Satu dari yang sedikit itu adalah Century, majalah prestisius yang beredar di kalangan berada dan terpelajar. Agresivitasnya dalam mencari iklan selama 1870-an dan 1880-an turut mengikis keengganan penerbit majalah terhadap iklan. Di tahun 1890-an, Frank Mursey yang sudah disebut sebelumnya, berjasa menerapkan praktik penerbitan majalah standar. Ia memasang harga lebih rendah daripada biaya produksi majalahnya sendiri, dan kekurangannya itu ia tutupi dengan iklan. Praktik ini kemudian ditiru oleh para penerbit lainnya.

Standarisasi dan Imitasi

Dalam perkembangannya, isi, gaya bahasa, dan format antara majalah-majalah sejenis –misalnya majalah busana, majalah sastra, atau majalah mingguan— menjadi sangat mirip. Standarisasi ini merupakan dampak tak terelakkan dari industrialisasi media, mekanisasi, urbanisasi, dan redistribusi pendapatan. Media telah berubah dari seni menjadi industri yang harus menggunakan teknik-teknik produksi massal.

Lama-kelamaan, pengasuh majalah harus mengikuti jenis artikel yang sudah terbukti diminati pembaca, dan ia sama sekali tidak bisa leluasa memilih menurut penilaiannya sendiri. Karakter majalah harus disesuaikan dengan selera pasar. Walter Hines Page, misalnya, pernah mengasuh majalah Forum pada 1187-1895. Ia mengejutkan semua stafnya karena menyusun langsung daftar isi majalahnya sekian bulan ke muka, dan langsung menentukan jenis-jenis artikel yang harus dicari. Ia melakukan semua ini cukup dengan menyimak artikel apa saja yang sudah terbukti diminati pembaca. Praktik seperti ini kini sudah lazim di hampir semua majalah.

Imitasi dan peniruan juga terjadi dalam proses standarisasi majalah. Setiap gagasan yang sukses akan segera beramai-ramai ditiru. Pada tahun 1922, seorang pemuda bernama DeWitt Wallace senang membaca semua majalah yang ada, lalu memilih dan menghimpun artikel-artikel yang dianggapnya paling baik atau menarik. Dari kebiasaan ini, timbul ide untuk menerbitkan sebuah majalah ringkas yang hanya memuat artikel-artikel bermutu. Maka lahirlah Reader’s Digest, yang sampai sekarang merupakan majalah dengan tiras terbanyak di seluruh dunia. Tidak lama berselang, sekian banyak majalah sejenis bermunculan sehingga istilah digest merujuk ke jenis majalah seperti itu. Kalau ada jenis majalah baru, misalnya khusus memuat cerita-cerita detektif, pengakuan pribadi, berita hangat, majalah khusus yang memuat foto-foto menarik, majalah petualangan, dan sebagainya, yang meraih sukses maka sekian banyak tiruannya akan segera menyerbu. (ah)